


Melancong ke Belitung sudah lama menjadi keinginan kami sekeluarga. Belitung menjadi salah satu destinasi wisata terkenal setelah terbitnya novel dan film Laskar Pelangi. Kesempatan itu baru kami dapatkan pada liburan akhir tahun 2015 kemaren.
Setelah terbang kurang lebih satu jam, sekitar pukul 07.30 pagi kami sampai di Bandara Hanandjoeddin Tanjungpandan. Sarapan adalah hal pertama yang harus dilakukan karena sepotong roti serta segelas air dari maskapai penerbangan tidak cukup menjawab kebutuhan kami yang terbiasa sarapan berat. Kemana lagi kalau ke Belitung kalau tidak ke Warung Atep untuk mencicipi mie Belitungnya yang terkenal lezat. Warung yang terletak di jalan Sriwijaya nomor 27 ini sudah ramai pengunjung pagi itu. Selain rombongan wisatawan yang datang dengan bus wisata saya juga melihat beberapa orang yang satu pesawat dengan saya tadi. Saya yang selama ini tidak suka, lebih tepatnya menghindari, makan mie dengan berat hati mencoba mencicipinya. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang, mie Belitungnya Atep itu “enak bangat, gila!”
Eh…ntar ya cerita jalan-jalannya. Saya mau cerita sedikit tentang kota Tanjungpandan dan Belitung. Terus terang saya kaget melihat suasana Kota Tanjungpandan dan Pulau Belitung. Apa yang selama ini saya bayangkan tentang daerah ini bertolak belakang dengan kenyataannya. Karena saya pernah dan sedang bertugas di salah satu kota kabupaten dan di ibukota propinsi Kepulauan Riau saya selalu membayangkan daerah di pulau-pulau pantai timur Sumatera tidak berbeda jauh dengan yang ada di Kepulauan Riau, dengan Batam sebagai pengecualiannya tentu. Yang selalu dalam pikiran saya adalah kota-kota yang terpusat di sekitar pelabuhan sehingga penuh sesak dan jalan-jalan yang sempit yang sebagian terpaksa dibuat satu arah karena separo badan jalan dipakai untuk perparkiran. Tanjungpandan dan Belitung memiliki jalan-jalan yang lebar dan mulus dengan penataan kota yang cukup bagus untuk sebuah kabupaten. Begitu juga dengan dasilitas penunjangnya.


Puas bermain air dan berfoto ria kami kembali ke Tanjungpandan berhubung hari sudah sore dan hujan. Tak salah kalau banyak yang menjuluki Tanjungpandan itu kota 1000 kedai kopi. Di sekitar Pelabuhan Tanjungpandan saja berjejeran kedai-kedai kopi yang kalau dilihat dari papan namanya sudah berumur sekitar 40 tahunan, bahkan ada yang lebih tua dari itu. Sayang sekali karena tak satupun dari kami yang penikmat kopi sehingga salah satu jualan wisata di Belitung ini tidak kami nikmati. Pelabuhan Tanjungpandan adalah tujuan selanjutnya. Pelabuhan laut adalah salah satu tempat yang selalu saya kunjungi saat datang ke daerah baru. Sebenarnya bukan pelabuhannya yang saya tuju tapi kota tuanya yang biasanya terletak di sekitar pelabuhan. Disitu saya membayangkan sejarah dan peradaban kota tersebut dari bentuk bangunan yang ada.




Islands hoping! Dengan menyewa perahu motor seharga Rp.400.000 kami memulai petualang di laut. Sayangnya sewa perahu belum termasuk pelampung (life jacket). Terpaksalah kami menyewa pelampung sebesar Rp. 20.000/buah. Wisata ini adalah mengunjungi pulau-pulau yang ada disekitar Tanjungkelayang yaitu Pulau Batu Berlayar, Pulau Burung, Pulau Kepayang, Pulau Pasir dan Pulau Lengkuas.
Pulau-pulau tersebut umumnya berisi batu-batu granit walau ukurannya tak sebesar yang ada di Tanjungtinggi. Tujuan utama island hopping ini ada Pulau Lengkuas yang ditempuh kurang lebih selama 30 menit dari Tanjungkelayang. Pulau yang indah ini luasnya kurang lebih satu hektar. Disini menjulang tinggi sebuah mercusuar yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1882.

Hari ketiga, Gantung dan Manggar. Jika dua hari sebelumya kami berkeliaran di Belitung bagian barat maka hari ini kami ke Belitung bagian timur. Tujuannya apalagi kalau bukan mengunjungi sekolah dasar tempat Pak Harfan dan Bu Muslimah mengajar Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, Akiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani dan Harun – SD Muhammadiyah Gantung.


Tak jauh dari Museum Kata kami melewati rumah Ahok yang menjadi buah bibir sejak beliau menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Rumah bernuansa daerah Belitung tersebut mudah dikenali karena ada petunjuk jalan serta pagar batu dengan tulisan “RUMAH AHOK” didepannya. Sebenarnya saya lebih ingin melihat rumahnya Yusril Ihza Mahendra yang selama ini sering saya lihat di akun Twiternya karena rumah khas Belitung itu merupakan bangunan tua yang ditempati keluarganya turun temurun. Karena ketiadaan petunjuk jalan keinginan saya tersebut tidak kesampaian.
