Untuk kali kedua saya bertugas disini. Kali pertama adalah dalam rentang waktu 2004-2005. Sudah pasti ada perubahan ketika kembali 10 tahun kemudian. Saya selalu menyebut dengan lengkap “Tanjungbalai Karimun” saat ditanya kawan-kawan dimana saya bertugas saat ini. Hal ini untuk menghindari pertannyaan lanjutan karena jika saya jawab “Tanjungbalai” umumnya mereka akan berpikir di Tanjungbalai Asahan, Sumut. Sementara jika saya jawab “Karimun” maka banyak yang merujuk ke Karimun Jawa. Tanjungbalai Karimun adalah ibukota Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Kota kecil yang terletak di Pulau Karimun Besar yang berpenduduk lebih kurang 100.000 jiwa ini terdiri dari berbagai suku. Selain suku Melayu yang dianggap sebagai pendusuk asli, disini ada Jawa, ada Minang, ada Cina dan ada juga yang lainnya (numpang joged ya, Kak Rhoma).
Transportasi yang paling umum untuk mencapai Tanjungbalai Karimun adalah melalui laut. Bisa dari Batam, Tanjungpinang, Tembilahan, Dumai atau dari Singapore, Johor dan Kukup di semenanjung Malaysia. Bisa juga dicapai melalui udara dengan pesawat berkapasitas 8 penumpang dari Pekanbaru ke Palabuhan Udara Sei Bati, namun jadwalnya tidak setiap hari. Pelabuhan udara ini dulunya adalah milik Bea dan Cukai saat instansi ini masih memiliki bebrapa pesawat kecil sebagai bagian dari alat pengawasannya. Ada satu transportasi yang unik di kota ini yaitu bas. Bas tak lain adalah bus seukuran metro mini yang dibuat dengan karoseri sederhana layaknya karoseri bus-bus ditahun 1970an. Saya menduga penamaannya sebagai bas tak lain karena “dekatnya” penduduk pulau ini dengan Malaysia dan Singapore. Selain mobilitas penduduk Karimun ke kedua negara itu, pada masa pemerintah belum begitu memperhatikan wilayah perbatasan maka siaran tv dan radio yang bisa ditangkap di pulau ini adalah siaran dari Malaysia dan Singapore. Tak heran kalau penamaan yang dipakai meniru apa yang dipakai di kedua negara tersebut. Oh ya, sekarangpun saya tiap bolak balik dari rumah ke kantor selalu mendengarkan siaran radio Gold FM Singapore sebagai teman perjalanan.
Boleh dibilang hampir semua kebutuhan pokok disini didatangkan dari Sumatera, Jawa, Malaysia atau Singapore sehingga tak heran biaya hidup sangat tinggi di sini. Namun soal biaya hidup yang tinggi tidak menjadi persoalan bagi penduduk disini sepanjang barang-barang yang dibutuhkan tersedia. Itulah jawaban salah seorang teman bernama Ahong saat saya terkaget- kaget dengan tingginya biaya hidup waktu pertama kali menjejakkan kaki ke Karimun di tahun 2004.
Ekonomi di pulau ini digerakkan oleh perdagangan dan akhir-akhir ini oleh berbagai industri. Pada zamannya, penambangan timah pernah menjadi primadona. Terbukti dengan banyaknya ditemukan “monumen-monumen” berupa bekas galian tambang yang dibiarkan menjadi telaga-telaga kecil yang oleh penduduk setempat disebut kolong. Demikian juga ada daerah yang dinamakan Pe-en yang merupakan singkatan dari PN (Perusahaan Negara) Timah. Bisa ditebak bahwa daerah ini merupakan pusat administrasi PT.Timah dulunya. Saat ini industri granit, oil tanking dan galangan kapal merupakan primadonanya. Walau tak seramai dulu, yang tak kalah penting menopang kegiatan ekonomi di pulau ini adalah efek beruntun yang ditimbulkan oleh kegiatan prostitusi. Adalah pemandangan umum disini, terutama di akhir pekan, pasangan-pasangan lintas ras dan negara banyak ditemui. Diakhir pekan kota ini akan dibanjiri oleh warga negara Singapore dan Malaysia yang mencari hiburan. Hotel, penyewaan mobil, ojek dan rumah makan merupakan kegiatan ekonomi yang ikut berputar olehnya.
Menurut sahibul hikayat, sampai tahun 1990an boleh dibilang pulau ini adalah pulaunya Bea Cukai. Disinilah berlokasinya pangakalan terbesar armada kapal patroli dan Kantor Wilayah Bea Cukai. Sedikitnya ada sekitar 1.000 pegawai Bea Cukai yang bertugas di pulau ini. Jika tiap pegawai memiliki 4 anggota dalam keluarganya maka ada sedikitnya 4.000 jiwa penduduk pulau ini yang berasal dari keluarga Bea Cukai. Dan saat itu adalah lebih dari separo penduduk pulau ini. Lokasinya yang strategis di mulut Selat Malaka membuat pulau ini penting dalam pengawasan penyelundupan sehingga ada pameo dilingkungan pegawai Bea Cukai bahwa kalau belum pernah bertugas di Karimun maka ia belumlah Bea Cukai sejati.
Sebagai seorang pegawai di Bea Cukai sudah pasti saya sangat excited saat mengetahui akan ditugaskan disini. Patroli laut merupakan kegiatan yang sangat saya nantikan. Ada dua pengalaman yang selalu membekas sampai saat ini jika mengingat masa-masa itu. Yang pertama adalah saat melakukan operasi intelijen untuk menanggkap penyelundupan timah dari Kepulauan Bangka. Tidak hanya karena keberhasilan operasi itu sendiri tapi juga karena pengalaman “spiritual” yang saya alami. Sore itu, setelah berlayar kurang lebih 24 jam, saya dan tim berlindung diantara dua pulau sambil menunggu target operasi kami lewat. Cuaca sangat cerah. Kawan-kawan saling berbagi peran. Ada yang memancing ikan, ada yang memasak dan ada yang bermalas-malasan seperti saya. Suasana semakin menyenangkan saat beberapa lumba-lumba bermain dengan riangnya disekitar kami. Ketika itu terlontarlah kata-kata dari mulut saya kalau rasanya seperti raja minyak yang lagi pesiar karena cuaca yang begitu cerah dan lumba-lumba yang berkeliaran disekitar. Tak satupun anggota tim saya yang menanggapi. Saya ulangi beberapa kali tetap tak ada yang menanggapi. Mereka hanya saling pandang saja. Senja berubah menjadi horor. Langit cerah tiba-tiba berubah menjadi hujan badai. Kapal patroli berjenis very slender vessel (VSV) itu laksana sabut kelapa yang diombang ambing gelombang. Kami bergerak ketengah laut untuk menghindari benturan dengan karang. Suasana itu berlangsung beberapa jam sampai salah seorang dari kami teringat untuk membuang baju yang dipakainya kelaut. Walau laut mulai tenang, saya tidak bisa tidur sampai paginya karena badan basah kuyub dan pikiran yang masih terbayang suasana yang mencekam itu. Paginya, salah seorang crew mendekati saya dan menjelaskan mengapa mereka acuh saat saya berkomentar tentang cuaca. Rupanya mengomentari cuaca bagus adalah hal yang tabu bagi pelaut. Tidak mengomentari cuaca yang cerah dan melempar baju yang dipakai kelaut saat cuaca sangat tidak bersabahat menjadi hal yang selalu saya ingat sejak itu. Believe it or not, it works!
Pengalaman lainnya adalah sebagai a new kid on the block yang tentu lagi culun-culunnya sebagai pelaut. Beberapa saat menjelang berlabuh untuk mengisi bbm atau air setelah beberapa hari melaut, para ABK sudah rapi jali dan wangi. Dengan interval waktu tertentu mereka bergantian minta ijin ke darat. Macam-macamlah alasannya. Ada yang beli sayur, beli ayam, beli pulsa, beli minuman dll. Mengingat sudah beberapa hari dilaut tanpa pretensi apa-apa saya selalu mengijinkan mereka. Walhasil sayalah yang nota bene komandan patroli menjaga kapal selama berlabuh. Kejadian tersebut selalu berulang setiap saya patroli sampai pada suatu masa yang selalu membuat saya selalu tertawa atau setidaknya tersenyum jika mengingatnya. Saat itu kapal patroli saya di BKO-kan ke wilayah Sumatera Utara dengan tujuan Tanjungbalai Asahan. Seperti biasa para ABK sudah memulai ritualnya menjelang kapal berlabuh dan seperti biasa pula saya yang menjaga kapal bersama seorang volunteer. Sore itu saat menikmati iring-iringan kapal penangkap ikan yang keluar dari Sungai Asahan terdengar suara ibu-ibu paruh baya memanggil-manggil dari dermaga. Ia membawa rantangan dan seorang perempuan kecil berumur 7 tahunan. Rupanya ia menanyakan apakah ada kru kapal yang bernama X. Karena tidak hafal seluruh ABK saya memanggil volunteer yang menemani saya untuk menjawabnya. Si volunteer berbisik ke saya untuk bilang bahwa ABK X tersebut tidak ikut di kapal dan sudah pindah. Si volunteer menjawab dengan senyum penuh arti saat saya menanyakan siapa ibu dan anak itu. “Biasalah, Pak” jawabnya. Sejak saat itu ABK saya ijinkan ke darat hanya secara bergiliran satu per satu. Gantian saya yang selalu turun ke darat. Biasa, nyari warung Padang. Hahahaha.
Kembali ke laptop, keberadaan Bea Cukai sendiri saat itu sangat mendukung kehidupan di pulau ini. Salah satunya adalah sebagai jembatan penghubung pergerakan penduduk di Pulau Karimun Besar ke pulau lainnya terutama ke Tanjungpinang di Pulau Bintan, satu-satunya kota di kepulauan ini. Saat itu Batam masih merupakan daerah tempat jin buang anak. Tanjungpinanglah tempat tujuan perantauan terutama bagi penduduk Karimun yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Saat sarana transportasi laut belum memadai seperti sekarang maka kapal BT (Bea Tjukai)-lah salah satu sarana transportasi mereka. Mereka akan menumpang kapal-kapal BT yang akan patroli ke daerah sana. Tak heran hubungan emosional orang-orang tua di pulau ini begitu erat dengan Bea Cukai.
Coastal Area
Lalu pada tahun 1999 ada pemekaran Propinsi Riau yang dipecah menjadi Propinsi Riau dan Propinsi Kepulauan Riau dimana Karimun naik status dari kecamatan menjadi sebuah kabupaten. Mulailah pulau ini ramai dengan datangnya pegawai-pegawai baik dari instansi pemerintah dan swasta. Ketika pertama kali bertugas di awal 2004, jalan raya yang umumnya pas-pasan untuk dua mobil berpapasan ini masih cukup untuk menampung kendaraan bermotor yang boleh dikata bisa dihitung dengan jari. Namun peningkatan kemampuan ekonomi penduduk saat ini membuat jalanan tersebut saya rasakan semakit sempit. Seiring waktu, kota Tanjungbalai pun makin berkembang. Saat ini perkembangan kota sudah mulai menjauh dari pelabuhan laut. Daerah yang dulunya tidak terjamah sekarang sudah berdiri perumahan penduduk dan ruko-ruko. Namun perubahan yang berkesan bagi saya adalah Coastal Area. Dulunya daerah ini adalah bibir pantai yang terletak persis di bawah komplek perumahan dinas tempat saya bermukim. Kemudian pemerintah daerah membangun jalan lingkar dengan menimbun pantai dan rawa-rawa serta membangun pusat keramaian berupa taman dan tempat berjualan pedagang makanan kaki lima yang tertata rapi disana. Dan Tanjungbalai Karimun-pun makin semarak.